Jakarta, CNN Indonesia —
Komisi Pemberantasan Penyuapan (KPK) mengkritik keras Sebanyaknya Pasal dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2023 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Meski mengapresiasi keinginan pemerintah untuk Mengoptimalkan peran BUMN dalam mengelola sektor-sektor penting demi kesejahteraan rakyat, KPK turut memberi catatan kritis terhadap Sebanyaknya Syarat dalam Perundang-Undangan tersebut.
“KPK memaknai ada beberapa Syarat yang dianggap Nanti akan membatasi kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana Penyuapan yang terjadi di BUMN,” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam keterangan tertulis, Rabu (7/5).
Pertama, KPK menyoroti keberlakuan Pasal 9G Perundang-Undangan BUMN yang menyatakan Anggota Direksi atau Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Menurut KPK, Syarat tersebut kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 7 beserta Penjelasannya dalam Perundang-Undangan 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Penyuapan, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Setyo menjelaskan keberadaan Perundang-Undangan 28/1999 merupakan hukum administrasi khusus berkenaan dengan pengaturan penyelenggara negara, yang memang bertujuan untuk memerangi KKN.
“Maka, sangat beralasan Bila dalam konteks penegakan hukum tindak pidana Penyuapan berkenaan dengan Syarat penyelenggara negara KPK berpedoman pada Perundang-Undangan Nomor 28 Tahun 1999,” ucap Setyo.
Terlebih lagi, dalam penjelasan Pasal 9G Perundang-Undangan BUMN Pernah dirumuskan Syarat yang berbunyi: “Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara Nanti akan hilang”.
Setyo menuturkan Syarat tersebut dapat dimaknai status penyelenggara negara tidak Nanti akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN.
“Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan/Pengawas BUMN tetap merupakan Penyelenggara Negara sesuai Perundang-Undangan Nomor 28 Tahun 1999,” ungkap Setyo.
Sebagai penyelenggara negara, maka mereka memiliki kewajiban untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK dan penerimaan gratifikasi.
Kerugian BUMN sebagai kerugian negara
Setyo Bahkan menyinggung Pasal 4B Perundang-Undangan BUMN yang berkenaan dengan kerugian BUMN bukan kerugian keuangan negara serta Pasal 4 ayat 5 mengenai modal negara pada BUMN merupakan kekayaan BUMN.
Setyo menerangkan putusan MK (MK) nomor: 48/PUU-XI/2013 dan 62/PUU-XI/2013 yang kemudian dikuatkan dengan putusan nomor: 59/PUU-XVI/2018 dan 26/PUU-XIX/ 2021 menjadi acuan dan Pernah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan.
MK menyatakan konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam hal ini BUMN yang merupakan derivasi penguasaan negara, sehingga segala pengaturan di bawah UUD tidak boleh menyimpang dari tafsir konstitusi MK.
“Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana (TPK) kepada Direksi/Komisaris/Pengawas BUMN,” ungkap Setyo.
Hal itu dapat dilakukan sepanjang kerugian keuangan negara yang terjadi di BUMN terjadi akibat perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule (BJR) vide Pasal 3Y dan 9F Perundang-Undangan No.1 Tahun 2025, misalnya diakibatkan fraud, suap, tidak dilakukan dengan iktikad baik, terdapat konflik kepentingan, dan lalai mencegah timbulnya keuangan negara yang dilakukan oleh Direksi atau Komisaris atau Pengawas BUMN.
Dari uraian tersebut, Setyo berpandangan KPK tetap memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana Penyuapan yang dilakukan oleh Direksi atau Komisaris atau Pengawas di BUMN.
Hal itu dikarenakan dalam konteks hukum pidana, status mereka tetap sebagai penyelenggara negara dan kerugian yang terjadi di BUMN merupakan kerugian negara, sepanjang terdapat perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan atas prinsip BJR.
Ini Bahkan sejalan Sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf a dan b Perundang-Undangan 19/2019 tentang KPK serta putusan MK nomor: 62/PUU-XVII/2019, di mana kata “dan/atau” dalam Pasal tersebut dapat diartikan secara kumulatif maupun alternatif.
“Artinya, KPK bisa menangani kasus Penyuapan di BUMN Bila ada penyelenggara negara, ada kerugian keuangan negara, atau keduanya,” kata Setyo.
Jenderal polisi bintang tiga ini menyatakan penegakan hukum atas tindak pidana Penyuapan di tubuh BUMN merupakan upaya untuk mendorong penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).
“Sehingga pengelolaan BUMN sebagai kepanjangan tangan negara yang bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat tercapai,” ungkap Setyo.
(fra/ryn/fra)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA