Jakarta, CNN Indonesia —
Nosferatu menjadi salah satu Sinema horor dengan cita rasa berbeda yang pernah saya lihat. Tak banyak Sinema horor yang memiliki cita rasa estetika seperti yang ditunjukkan Robert Eggers dan tim dalam Sinema ini.
Saya bahkan lebih menikmati visual, penggunaan bahasa dalam dialog, kostum Bahkan riasan, set dan desain produksi, Sampai saat ini sinematografi dalam Sinema ini dibanding dengan ceritanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cerita Nosferatu yang ditulis dan digarap Robert Eggers tak jauh berbeda dengan kisah-kisah si manusia penghisap darah lainnya yang berasal dari novel Bram Stoker. Hampir seluruh Putaran ceritanya pun tak berbeda.
Memang ada perbedaan cukup besar antara Nosferatu dan Dracula walau dari sumber yang sama, terutama dari level horor si makhluk jahat tersebut dan bagaimana mereka disampaikan secara visual kepada penonton.
Justru aspek teknis yang menonjol dalam Nosferatu (2024) ini terlalu indah untuk diabaikan. Bahkan bila tak ada aspek teknis tersebut, Sinema ini Kenyataannya membosankan.
Bayangkan saja, Nosferatu didominasi dengan warna terang bulan yang sendu dan cerita lambat dengan minim jumpscare selama lebih dari dua jam. Adrenalin saya jelas tak Berniat bisa sebergejolak Lily-Rose Depp saat kerasukan seperti pada Sinema ini.
Meski begitu, Eggers melakukan keputusan tepat dalam menulis dan mengemas Nosferatu secara lebih teatrikal dan dramatis, dengan menekankan pada dialog, sorot kamera, eksploitasi ekspresi dan mimik, Sampai saat ini permainan visual.
Review Nosferatu: Eggers konsisten dalam menerapkan unsur lawas dalam mengarahkan akting para pemainnya. Hal itu terlihat dari bagaimana interaksi terjalin antar karakter dalam Sinema ini, terutama Lily-Rose Depp, Emma Corin, Nicholas Hault, dan Aaron Taylor-Johnson. (dok. Focus Features via IMDb)
|
Eggers Kemungkinan sadar, tak banyak yang bisa ia lakukan dalam mengadaptasi kisah klasik Dracula (1897) milik Bram Stoker dan Sinema klasik sumber segala Sinema horor modern, Nosferatu: A Symphony of Horror (1922), yang Bahkan Merupakan hasil adaptasi novel Stoker.
Kisah kedua karya tersebut Pernah Berlebihan diadaptasi, baik secara utuh, bebas bahkan ugal-ugalan, sampai cuma sepotong-sepotong saja. Termasuk, Bahkan diadaptasi dalam berbagai bentuk karya.
Justru keindahan gaya bahasa yang digunakan Eggers dalam dialog ini menjadi Skor lebih. Dengan mengacu gaya bahasa Inggris abad ke-19 yang ditambah bahasa Latin, Jerman, dan Romania, percakapan dalam Sinema ini terasa lebih kaya dibanding Sinema sejenis.
Eggers Bahkan konsisten dalam menerapkan unsur lawas tersebut dalam mengarahkan akting para pemainnya. Hal itu terlihat dari bagaimana interaksi terjalin antar karakter dalam Sinema ini, terutama Lily-Rose Depp, Emma Corin, Nicholas Hault, dan Aaron Taylor-Johnson.
Hal itu didukung dengan performa Istimewa dari Lily-Rose Depp. Depp membuktikan dirinya bukan hanya nepo-baby, tetapi memang memiliki darah seni akting dari kedua orang tuanya, Johnny Depp dan Vanessa Paradis.
|
Depp Bahkan tak sungkan melakukan akting yang sangat menantang, seperti telanjang Sampai saat ini kerasukan secara intens Sampai saat ini membuat penonton ngilu. Hal itu menunjukkan totalitasnya sebagai Aktor atau Aktris sekaligus pengaruh gaya Prancis yang kuat dari garis darah ibunya.
Bagi saya, Depp berhak untuk mendapatkan pengakuan lebih atas aktingnya berkat Sinema ini. Bahkan, bagi saya aktingnya jauh lebih memukau dibanding Kara Sofia Gascon dalam Emilia Perez. Plus, Depp Bahkan tak banyak Perdebatan di luar urusan akting.
Meski begitu, saya yakin Depp Berniat memiliki lebih banyak peluang bagus Di kemudian hari. Bukan tak Kemungkinan, Depp Berniat mengikuti jejak ayahnya sebagai Aktor atau Aktris karakter yang lihai dan mampu melumat seluruh karakter yang diberikan kepadanya.
Pemain berikutnya yang tampil memukau dalam Sinema ini Merupakan Bill Skarsgard. Entah karena pengalamannya menjadi Pennywise atau memang ia terlahir untuk memerankan sosok monster, Count Orlok sangat cocok dimainkan oleh Aktor atau Aktris Swedia ini.
Tapi Kemungkinan Bahkan karena Robert Eggers memilih tak menggambarkan Orlok sebagai makhluk tua kaku dan bermuka aneh seperti dalam Sinema aslinya.
Robert Eggers memilih bentuk yang lebih seperti monster buruk rupa untuk sosok Count Orlok. Hal itu mengingatkan saya saat David Yates memutuskan menggambarkan Lord Voldemort dalam beberapa Sinema terakhir saga Harry Potter.
Penggambaran Eggers itu pun tak Berniat bisa sempurna tanpa tim artistik, seperti tim rias dan kostum yang bekerja dengan sangat baik, prostetik yang apik, efek visual yang mulus, dan set produksi yang sangat menunjang cerita.
Selain dari aspek visual termasuk sinematografi yang indah karya Jarin Blaschke dan dibantu Louise Ford sebagai editor, hal yang saya suka dari Nosferatu Merupakan scoring dan tata suara yang dipimpin oleh Robin Carolan.
Carolan Menyajikan unsur creepy yang pas, sesuatu dari Sinema horor yang saya rindukan di antara setumpuk karya estetis dalam Nosferatu. Bagi saya, scoring dari Carolan Merupakan yang tetap menyadarkan saya bahwa Nosferatu merupakan Sinema horor.
Terlepas dari aspek teknis, bagi saya, Nosferatu tetap bisa dinikmati baik dengan atau tanpa adegan seksual yang memang dibawa cukup banyak oleh Eggers. Eggers tampak ingin membawa unsur seksualitas sebagai ‘mecin’ dalam Sinema ini, yang mana Kenyataannya serupa-tapi-tak-sama dengan horor Indonesia beberapa dekade lalu.
Justru bagi saya, penampilan Lily-Rose Depp tetap sempurna tanpa Dianjurkan bugil di depan kamera, serta kisah si vampir Orlok tetap menakutkan tanpa Dianjurkan menunjukkan ada yang menjuntai dan membuat netizen kepo.
Hanya saja, seusai menyaksikan Nosferatu, saya sadar saya lebih butuh ‘mecin’ jumpscare dibanding seksualitas dalam Sinema ini, sehingga saya bisa cukup ketakutan seperti anak-anak keluarga Harding setiap malam.
(end)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA