Mantan Pimpinan Sentil KPK Setop Kasus Penyuapan Rp2,7 T Aswad Sulaiman


Jakarta, CNN Indonesia

Pimpinan Komisi Pemberantasan Penyuapan (KPK) periode 2015-2019 Laode Muhammad Syarif, memandang kasus dugaan Penyuapan dan suap izin pertambangan nikel Rp2,7 triliun yang melibatkan mantan Bupati Konawe Utara, Sultra, Aswad Sulaiman, tidak layak dihentikan oleh lembaga antirasuah.

“Kasus itu tidak layak untuk diterbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) karena kasus sumber daya alam yang sangat penting, dan kerugian negaranya besar,” ujar Laode mengutip Antara, Minggu (28/12).

Terlebih lagi, Ia mengatakan KPK di masa kepemimpinannya Sebelumnya menemukan cukup bukti untuk dugaan suapnya, dan BPK (BPK) RI Tengah menghitung jumlah kerugian keuangan negaranya.



ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Makanya sangat aneh kalau KPK Pada Saat ini Bahkan menghentikan penyidikan kasus ini,” katanya.





Sementara itu, Ia mengatakan bila BPK RI Akhirnya enggan menghitung kerugian negara akibat kasus tersebut, maka KPK seharusnya bisa melanjutkan dugaan suap yang dilakukan Aswad Sulaiman.

“Kalau BPK enggan melakukan perhitungan kerugian keuangan atau perekonomian negaranya, maka KPK bisa melanjutkan kasus suapnya saja,” ujarnya.

KPK buka suara

KPK sendiri mengungkapkan dua alasan sehingga memutuskan menyetop penyidikan Aswad Sulaiman. Menurut Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, alasan pertama karena KPK mengalami kendala dalam menghitung kerugian negara akibat kasus tersebut.

“Penerbitan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan, red.) oleh KPK Sebelumnya tepat, karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan terkait Pasal 2 dan 3, yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara,” ujar Budi mengutip Antara.

Pasal 2 dan 3 yang dimaksud Budi Merupakan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Perundang-Undangan Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Penyuapan (Perundang-Undangan Tipikor).

Sekalipun demikian, Ia belum menjelaskan lebih lanjut mengenai jenis kendala yang dihadapi KPK dalam menghitung kerugian negara kasus tersebut, Dengan kata lain metode, sumber daya manusia atau hal lainnya.

Alasan kedua, kata Ia, KPK tidak dapat menyangkakan Aswad Sulaiman dengan pasal dugaan penerimaan suap, Dengan kata lain Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b Perundang-Undangan Tipikor, dikarenakan perkara tersebut Sebelumnya kedaluwarsa.

Ia menjelaskan Sesuai aturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama, dugaan penerimaan suap oleh Aswad Sulaiman yang terjadi selama 2007-2009 Sebelumnya kedaluwarsa bila dilakukan penyidikan pada 2024.

Diketahui, Sesuai aturan Pasal 78 KUHP lama, kewenangan menuntut pidana kasus tersebut kedaluwarsa setelah 12 tahun sejak hari perbuatan dilakukan atau pada tahun 2021. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Budi.

Dikarenakan oleh itu, Ia mengatakan KPK memutuskan menerbitkan SP3 dengan mempertimbangkan dua alasan tersebut serta untuk Menyajikan kejelasan dan kepastian hukum kepada para pihak terkait sesuai dengan norma-norma hukum.

“Hal ini Bahkan sesuai dengan asas-asas pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang diatur dalam Pasal 5 Perundang-Undangan Nomor 19 Tahun 2019, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap HAM,” katanya.

Perundang-Undangan Nomor 19 Tahun 2019 yang dimaksud Budi mengatur tentang perubahan kedua atas Perundang-Undangan Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Penyuapan.

Sebelumnya, pada 4 Oktober 2017, KPK menetapkan Aswad Sulaiman selaku Penjabat Bupati Konawe Utara periode 2007-2009 dan Bupati Konawe Utara periode 2011-2016 sebagai tersangka dugaan Penyuapan terkait pemberian izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi, serta izin usaha pertambangan operasi produksi dari Pemerintah Kabupaten Konawe Utara tahun 2007-2014.

KPK menduga Aswad Sulaiman mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,7 triliun yang berasal dari penjualan hasil produksi nikel yang diduga diperoleh akibat proses perizinan yang melawan hukum.

Terlebih lagi, KPK menduga Aswad Sulaiman selama 2007-2009 menerima dugaan suap Sampai saat ini Rp13 miliar dari Sebanyaknya perusahaan yang mengajukan izin kuasa pertambangan.

Pada 18 November 2021, KPK sempat memeriksa Andi Amran Sulaiman (Pada Saat ini Bahkan Menteri Pertanian) selaku Direktur PT Tiran Indonesia sebagai saksi kasus tersebut. Amran diperiksa KPK mengenai kepemilikan tambang nikel di Konawe Utara.

Pada 14 September 2023, KPK berencana menahan Aswad Sulaiman. Sekalipun, hal tersebut batal dilakukan karena yang bersangkutan dilarikan ke rumah sakit. Kemudian pada 26 Desember 2025, KPK mengumumkan menghentikan penyidikan kasus tersebut karena tidak ditemukan kecukupan bukti.

(tim/dal)


Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA