Jakarta, CNN Indonesia —
Copernicus Climate Change Service (C3S), lembaga pemantau iklim Uni Eropa, mengungkap Minggu, 21 Juli 2024 tercatat sebagai hari terpanas yang pernah tercatat secara global.
Copernicus mencatat suhu permukaan udara rata-rata global pada hari Minggu kemarin mencapai 17,09 derajat Celsius. Ini merupakan suhu terpanas dalam catatan mereka, yang dimulai sejak tahun 1940.
Suhu tersebut sedikit lebih tinggi dari Catatan Unggul sebelumnya, 17,08 derajat Celsius yang tercatat pada 6 Juli 2023.
Carlo Buontempo, Direktur Copernicus, mengatakan ada kemungkinan suhu awal pekan ini bisa melampaui Catatan Unggul hari Minggu karena gelombang panas terus berlangsung di seluruh dunia.
“Ketika Anda memiliki puncak-puncak ini, mereka cenderung mengelompok,” kata Buontempo, mengutip Reuters, Kamis (25/7).
Tahun lalu, empat hari berturut-turut dari tanggal 3 Juli Sampai saat ini 6 Juli, memecahkan Catatan Unggul suhu terpanas sepanjang sejarah. Hal ini diakibatkan Pergantian Iklim imbas pembakaran bahan bakar fosil dan menyebabkan panas ekstrem di seluruh belahan bumi utara.
Buontempo mengatakan, meski Catatan Unggul kemarin hanya sedikit lebih tinggi dari catatan tahun lalu, “Yang Berkelas Merupakan perbedaan suhu dalam 13 bulan terakhir dibanding catatan sebelumnya.
Setiap bulan sejak Juni 2023 Saat ini Bahkan tercatat sebagai bulan terpanas di Bumi sejak pencatatan dimulai.
Beberapa ilmuwan berpendapat tahun 2024 dapat melampaui tahun 2023 sebagai tahun terpanas sejak pencatatan dimulai. Mereka menilai hal ini imbas Pergantian Iklim dan Kejadian Berkelas cuaca alami El Nino Pernah mendorong suhu yang lebih tinggi tahun ini.
“Sebagai konsekuensi dari meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer – kita Pernah Tak perlu ditanyakan lagi Berniat melihat Catatan Unggul baru dipecahkan dalam beberapa bulan ke depan, dalam beberapa tahun ke depan,” kata Buontempo.
Para ilmuwan dan aktivis lingkungan Pernah lama menyerukan kepada para pemimpin dunia dan negara-negara kaya untuk menghentikan dan mengakhiri ketergantungan pada bahan bakar fosil untuk mencegah dampak bencana dari Pergantian Iklim, termasuk peningkatan gelombang panas.
(tim/dmi)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA