Review Sinema: Longlegs


Jakarta, CNN Indonesia

Menyaksikan Longlegs mengingatkan Nanti akan perasaan saat pulang berjalan kaki kala malam gulita, sendirian, menyusuri jalanan minim penerangan, hanya ada suara nafas dan derap kaki sendiri.

Sensasi creepy, sunyi, dan suram seolah memang menjadi tujuan Osgood Perkins dalam menulis dan menggarap Longlegs. Sensasi itu yang bagi saya, Merupakan sensasi horor riil di dunia nyata.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski cerita Longlegs pada dasarnya Merupakan kisah kriminal berbalut okultisme, Perkins yang memang Pernah terjadi obsesi dengan horor dan thriller sejak dulu berusaha menghadirkan sensasi berbeda dari kisah kriminal yang pernah ada.

Tak banyak adu tembak dalam Sinema ini seperti dalam kebanyakan Sinema kriminal lainnya. Bahkan, cenderung tembakan dari satu arah. Pernah terjadi Tak perlu ditanyakan lagi, karena ini digarap oleh sineas yang obsesi dengan horor dan thriller, darah dan warnanya Merupakan aksen yang Harus ada.

Berbagai adegan thriller seperti tikam Sampai sekarang tebas ditampilkan sebagai pendamping penembakan. Dan karena berkaitan dengan okultisme dan perangai sinting, adegan membenturkan diri Bahkan jadi sajian untuk membuat penonton tercekat.

Bertolak belakang dengan bagi saya bukan darah atau sabetan kapak ke pundak yang membuat ngeri, melainkan bagaimana Perkins menyusun formula Longlegs dari gagasan Sampai sekarang tayang di layar lebar. Perkins berusaha membuat penonton masuk dalam layar tersebut dengan menggunakan point of view yang tak biasa.

Review Sinema Longlegs (2024): Perkins berusaha membuat penonton masuk dalam layar tersebut dengan menggunakan point of view yang tak biasa. (NEON)

Menyajikan fokus lebih pada objek utama di layar, yang sebagian besar terjadi saat bagian Lee Harker (Maika Monroe) mengalami goncangan psikis, menegaskan Parkins tak ingin penonton terdistraksi dengan objek lain selain yang ingin ia tonjolkan.

Andres Arochi selaku sinematografer jelas memahami dan mengeksekusi imaji Perkins dengan baik. Permainan lensa, jenis kamera, Sampai sekarang aspek rasio untuk membedakan realitas dan memori sesuai narasi, mampu membuat otak penonton Dianjurkan ekstra menyesuaikan diri.

Misalnya saja saat Arochi beberapa kali menggunakan sorot yang lebih wide dengan fokus objek yang lebih mengekspos. Bagi saya, permainan itu membuat saya merasakan mengalami sindrom Alice in Wonderland atau dismetropsia.

Ditambah lagi dengan, sisipan adegan dengan aspek rasio 1.33 : 1 yang biasa digunakan pada era dekade ’50-an dan dikombinasikan dengan tone vintage Bahkan filter merah cukup bisa membuat otak mengirimkan sinyal tidak nyaman ke tubuh.

Perkins memang punya maksud tersendiri dalam melakukan pekerjaan yang saya yakini membuat editor Greg Ng dan Graham Fortin kerja keras. Apalagi kalau bukan sebagai simbolisasi perubahan antara ilusi, memori, dan realitas.

Beruntungnya, Perkins dengan tepat memilih para pemain untuk Sinema ini. Baik Nicolas Cage sebagai pria sinting Longlegs, Maika Monroe, Blair Underwood sebagai Agent Carter, Sampai sekarang Alicia Witt selaku ibunda Lee, bermain dengan cemerlang.

Film Longlegs (2024). (NEON)Review Sinema Longlegs (2024): Setelah sekian lama terjebak dalam peran dan Sinema medioker, Nicolas Cage membuktikan kembali kemampuan aktingnya dalam Sinema ini. (NEON)

Sulit bagi saya menentukan siapa tampil lebih baik lantaran masing-masing memiliki perannya tersendiri dalam membangun Longlegs.

Bertolak belakang dengan saya dengan yakin Menyajikan apresiasi bagi Nicolas Cage. Setelah sekian lama terjebak dalam peran dan Sinema medioker, Nicolas Cage membuktikan kembali kemampuan aktingnya dalam Sinema ini.

Cage bukan kali pertama memerankan karakter orang dengan gangguan mental. Terakhir yang membuat banyak terkesan Merupakan Leaving Las Vegas pada 1996. Bahkan, tanpa Dianjurkan ada embel-embel iblis pun, gelagat Cage Pernah terjadi cukup bikin tubuh refleks ambil jarak Berkualitas.

Monroe sebagai Lee Harker Bahkan mampu mengimbangi aksi Nicolas Cage. Monroe tak mesti Dianjurkan menampilkan aksi gila lainnya hanya untuk menunjukkan dirinya punya masalah Nanti akan realitas, dan teknik mikroekspresi yang ditampilkan Monroe terbilang Pernah terjadi cukup menampilkan ada masalah dalam karakter tersebut.

Blair Underwood dan Alicia Witt Bahkan berhasil menampilkan performa menawan, padahal peran mereka terbilang menantang lantaran mengalami perubahan yang ekstrem dan berdampak pada cerita.

Bertolak belakang dengan segala imaji ‘sinting’ Perkins rasanya Nanti akan kurang nampol bila tak ada campur tangan adiknya, Elvis Brooke Perkins alias Zilgi, sebagai penanggung jawab musik, serta Eugenip Battaglia dan kawan-kawan di departemen suara.

Tata suara dalam Longlegs bagaikan selotip yang merekatkan segala aspek creepy dalam membangun Sinema ini menjadi sebuah sajian yang padat dan cukup membuat tidak nyaman.

Longlegs menegaskan bahwa horor sesungguhnya justru bukan dari bunyi-bunyian aneh seperti di Sinema horor Indonesia, melainkan ketika Sungguh-sungguh tidak ada suara lain selain nafas dan detak jantung sendiri.

Terlepas dari segala sajian Longlegs yang creepy, Perkins memang tak ingin menampilkan Sinema yang mudah dicerna oleh penonton.

Hal itu terlihat dari Sebanyaknya hal yang memang dibiarkan menjadi pertanyaan, serta pembagian Putaran Sinema ini yang terbilang kaku dan memiliki perubahan laju cerita yang ekstrem bila membandingkan bagian awal dan akhir.

Perkins sanggup membuat penonton seolah Dianjurkan menelusuri jalanan tol yang lurus, panjang, dan membosankan selama 1,5 Putaran awal, lalu kemudian berbelok ekstrim dan mendadak menanjak, menukik, menurun terjal di 1,5 Putaran terakhir.

Meski begitu, Perkins lihai dalam menempatkan adegan ikonis untuk memastikan penonton tak Nanti akan lupa Nanti akan Sinema ini, seperti puja-puja Longlegs sebelum Pada Singkatnya ia bersimbah darah. Sehingga rasanya, Longlegs bisa merasuk ke pikiran penonton walau Pernah terjadi keluar dari bisokop, seperti saat ia merasuk ke pikiran para target korbannya.

(end/end)

Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA