Jakarta, CNN Indonesia —
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi deflasi secara bulanan (month to month/mtm) pada Mei dan Juni 2024.
Pada Mei, deflasi tercatat 0,03 persen (mtm). Sedangkan, Ketidakstabilan Ekonomi tahunan mencapai 2,84 persen.
Kelompok penyumbang deflasi terbesar pada Mei Merupakan makanan, minuman, dan tembakau dengan deflasi 0,29 persen dan andil 0,08 persen.
Sementara itu, deflasi Juni tercatat 0,08 persen (mtm) Meskipun demikian demikian secara tahunan (yoy) mengalami Ketidakstabilan Ekonomi sebesar 2,51 persen.
Kelompok pengeluaran penyumbang deflasi bulanan terbesar Merupakan makanan minuman dan tembakau dengan deflasi sebesar 0,49 persen dan Menyediakan andil deflasi sebesar 0,14 persen.
Lantas apa makna deflasi dua bulan berturut-turut?
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai deflasi mengindikasikan pelemahan permintaan dan daya beli masyarakat. Pasalnya Fluktuasi Harga sejak awal tahun tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan masyarakat.
“Hal tersebut terlihat cukup jelas dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang berada di bawah angka Peningkatan Ekonomi sejak akhir tahun lalu,” katanya kepada CNNIndonesia.com.
Deflasi, sambungnya, Bahkan bisa menandakan harga-harga mulai kembali ke level yang moderat alias tidak lagi bergeliat secara signifikan. Harga mulai melandai dibandingkan awal tahun di mana harga Barang Dagangan pokok silih berganti melonjak karena ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan.
Meskipun demikian demikian Di waktu ini pasokan Barang Dagangan pokok mulai membaik dan permintaan mulai melandai karena momen peak season permintaan Dengan kata lain Lebaran Pernah berlalu sehingga membuat terjadinya deflasi dalam dua bulan terakhir.
Ronny mengatakan dari sisi harga deflasi tentunya menjadi berita baik. Masyarakat menjadi senang Manakala harga mulai stabil atau kenaikannya sangat minor karena Berniat membuat disposal income atau pendapatan yang dapat dibelanjakan semakin berdaya beli.
Meskipun demikian demikian dari sisi makro, melandainya harga karena sisi permintaan turun menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah karena berpotensi menurunkan kontribusi konsumsi rumah tangga pada Peningkatan Ekonomi. Manakala konsumsi rumah tangga turun maka Berniat menekan angka Peningkatan Ekonomi.
Kemudian dari sisi Penanaman Modal, pelemahan permintaan Bahkan menjadi sinyal peringatan. Ronny mengatakan investor Berniat berpikir ulang untuk melakukan Penanaman Modal baru atau ekspansi usaha Manakala permintaan melemah.
Pasalnya prospek Penanaman Modal menjadi suram Manakala permintaan kurang bagus karena tidak menjanjikan keuntungan.
“Buat apa investor buka usaha baru, bikin produk baru, jual rumah baru, Kendaraan Pribadi baru, Manakala permintaan lemah. Jadi ini sinyal warning buat pemerintah dan dunia usaha, Meskipun demikian demikian sinyal bagus buat konsumen,” katanya.
Mengatasi situasi tersebut, pemerintah katanya Sangat dianjurkan memperbaiki daya beli masyarakat terutama kelas menengah ke bawah melalui berbagai kebijakan sosial kesejahteraan.
Pemerintah, sambung Ronny, Bahkan Dianjurkan mengakselerasi Penanaman Modal karena pelemahan permintaan Bahkan berasal dari meningkatnya segmen masyarakat yang kehilangan pendapatan karena kehilangan pekerjaan dan banyaknya angkatan kerja baru yang gagal menemukan pekerjaan, seperti 10 Bahkan Gen z yang menganggur.
“Penanaman Modal baru berarti lapangan pekerjaan baru sekaligus permintaan baru dari para pekerja baru,” katanya.
Pemerintah, sambung Ronny, Bahkan Dianjurkan Mengoptimalkan belanja. Sebagaimana diketahui, sejak pandemi covid-10, belanja pemerintah Merupakan salah satu tumpuan perekonomian nasional.
Ronny mengatakan belanja pemerintah Dianjurkan ditingkatkan terutama untuk kebijakan sosial kesejahteraan, perbaikan SDM, dan akselerasi Penanaman Modal.
“Jadi setop dulu berpikir Ingin menaikkan Harga Bahan Bakar Minyak, memberi makan gratis, dan lain-lain. Ini Berniat memperburuk situasi,” katanya.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan deflasi yang terjadi pada dua bulan terakhir merupakan kombinasi atas harga barang yang terkendali dan melemahnya daya beli.
Ia menyebut harga kebutuhan pangan pada Mei dan Juni relatif mulai melandai dibandingkan periode sebelumnya. Penurunan harga katanya disebabkan oleh kebijakan pemerintah terkait pengaturan harga serta faktor musiman Dengan kata lain Ramadan dan Idulfitri yang Pernah berlalu.
Terkait pelemahan daya beli, Yusuf mengatakan Pernah terlihat dari beberapa indikasi. Misalnya data penjualan retail pada Mei terutama secara bulanan mengalami kontraksi pertumbuhan dibandingkan pada April.
Kemudian pertumbuhan penerimaan Retribusi Negara terutama untuk Retribusi Negara pertambahan nilai (PPN) di mana dari sektor perdagangan mengalami kontraksi pertumbuhan pada Mei.
“Kedua data tersebut Kenyataannya mengindikasikan aktivitas perekonomian. Artinya ketika penerimaan Retribusi Negara mengalami kontraksi maka itu bisa menjadi salah satu indikasi aktivitas perekonomian mulai melambat,” katanya.
Meski indikasi tersebut Pernah ada, Yusuf mengatakan Dianjurkan dikaji lebih mendalam untuk mengkonfirmasi apakah benar terjadi pelemahan daya beli. Ia pun menambahkan tidak ada angka Jelas apakah tingkat deflasi bisa dikatakan berbahaya.
“Apakah deflasi di angka tersebut relatif berbahaya atau tidak, yang Dianjurkan dimitigasi atau dilihat lebih lanjut bagaimana angka deflasi ini, disesuaikan dengan data lain yang mencerminkan kondisi daya beli termasuk data pertumbuhan penerimaan PPN kemudian PPH badan ataupun PPH personal, dan data penerimaan Retribusi Negara sektor terutama perdagangan,” katanya.
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA